Judul : Ayat-ayat Cinta (Sebuah Novel Pembangun Jiwa)
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika & Basmala
Halaman : 420 halaman
Harga : Rp. 43.500,00
Sebenarnya sudah sejak tahun 2004 atau mungkin 2005 lalu aku sudah mendengar tentang Ayat-Ayat Cinta dari seorang seniorku di kampus. Ia bahkan mendiskusikannya dengan seorang temannya yang kuliah di Mesir (Thanks to K’Iren atas infonya…he..he..). Sayangnya, aku yang mengaku bookacholic ato lebih tepatnya novelladdict ini tak bergeming ‘tuk ke toko buku untuk mencari tahu kebenarannya. Hatiku beku tatkala mendengar kisah romansa dan betapa ‘mantap’nya seorang Fahri sampai-sampai disukai begitu banyak gadis. Apalagi saat mendengar ia juga menikah dengan gadis beda aqidah. Plek!…aku yang tak begitu suka kisah romansa berketetapan hati ‘tuk membacanya kapan-kapan saja…dan bahkan cenderung menutup hatiku bagi si novel.
Heboh-heboh tentang filmnya tak urung membuat kupenasaran mengikuti tiap beritanya. Bahkan dimilis tempat aku bergabung. Saat Hanung Bramantyo diwawancara untuk film “Get Married” pada suatu talkshow di metrotv [acaranya Alvin Adam, “Showbiz”], penelpon justru bertanya tentang film “Ayat-ayat Cinta”. Sekali lagi hal ini menggelitik hatiku. Tapi aku masih idem.
Baru akhir-akhir ini aku tertarik dan mulai berpikir untuk menjadikannya koleksi. Hitung-hitung sebagai ‘bukti autentik’ bahwa ada novel islami yang jadi best seller sekaligus fenomenal dan novel yang dua kali mendapat penghargaan. Dengan hati-hati aku memantapkan hati untuk membelinya. Benar dugaanku! Karena filmnya tengah beredar dan akan tayang di bioskop maka harga bukunya naik. Sekian ribu lebih mahal dari yang beberapa bulan lalu kulihat di etalase bookstore.
Sungguh rasanya amatlah telat aku menuliskannya sebagai suatu resensi karena sudah sangat tidak up-date lagi. Hampir semua penduduk Indonesia yang 220 juta ini tahu tentang novel ini. Hm..tapi biarlah aku yang baru tanggal 27 februari ini menguliknya hingga habis selama 7,5 jam turut mengutarakan pendapat yang hanya se-upil ini.
Kang Abik ini mengutarakan tentang betapa panasnya suhu 410 C di Kairo. Tak terbayangkan! Kairo yang dinarasikan dengan begitu indah, kota-kotanya, bangunan-bangunan tinggi, pasar rakyat yang murah meriah (setidaknya kita tahu kalo budaya tawar-menawar itu juga mendarah daging di TimTeng sana), cara orang-orang Mesir tinggal, sungai Nil yang membelah Kairo, Kairo di malam hari dengan lalu lintasnya yang kerlap-kerlip. Benar kata orang-orang, novel ini menggambarkan seolah-olah kita berada di Kairo. Lalu bagaimana watak orang Mesir yang begitu keras kepala tapi tatkala mengetahui kebenaran langsung berhati lembut. Kita jadi diingatkan untuk selalu mempelajari karakter orang agar lebih mudah bersosialisasi. Dan satu lagi, kita harus belajar menepati janji dengan on time ! Sesuatu yang susah dilakukan orang Indonesia…Coba terka kenapa ?!?
Bagaimana si penulis merangkaikan ayat-ayat dan hadis dalam bahasa yang halus hingga pembaca tidak merasa tergurui tapi justru terlibat dialog dengan bahasa yang ‘cerdas’ dengan sang tokoh utama. Seperti tatkala Fahri berdialog dengan Maria saat ia sedang sakit. Kepalanya yang berdenyut-denyut tidak menjadikannya ‘khilaf’ dalam menyitir surat Ar-Ra’ad. Seperti apa kaitan antara takdir Allah Azza wa Jalla dan ikhtiar… Bagaimana sebuah Peta Hidup justru memberikan energi positif dalam merancang masa depan….Sebuah ide yang harusnya ditiru generasi muda! Coba hitung berapa orang yang sudah membuat planning untuk sepuluh tahun ke depan ! Kalau disuruh unjuk jari pastilah aku termasuk dalam golongan itu (hua..hua…ini dia salah satu keistimewaannya!)
Aku lebih tertarik saat Fahri berada di penjara bersama Prof.Dr. Abdur Rauf Manshour, Hamada, Haj Rashed, Marwan dan Ismail. Aku jadi berpikir apakah Prof.Dr. Abdur Rauf Manshour itu nyata adanya ? Karena kisah-kisah tawanan Mesir ini begitu lekat di kepalaku. Penyiksaan, makanan yang tidak layak, tidur yang seadanya, sholat yang terkadang harus dilakukan dengan tayamum bahkan tatkala harus menunaikan hajat kehidupan, buang air besar, harus antri sampai kadang tak bisa menyalurkannya dengan baik. Bayangkan jika kita dalam posisi seperti itu. Kita jadi bersyukur atas nikmat kebebasan yang kini kita rasakan. Bahkan nikmat buang air besar… J
Nikmat kesabaran….adalah salah satu inti yang dapat kutarik dari novel ini. Ketika hidup menyajikan gelimpangan harta yang membuncah lalu dalam sekejap saja roti gandum yang empuk berganti roti kering yang nyaris basi…siapa yang tidak stress ?! Disiksa…berpisah dengan istri yang baru sebulan dinikahi…Masa-masa romansa yang begitu cepat beralih jadi neraka dunia yang kejam. Sungguh ironis! Sabar….sabar…dan sabar..Siapa bilang emosi (baca: amarah) ada batasnya…..?
Setting utamanya (ini berdasarkan pendapatku pribadi lho..) adalah kisah pengkhianatan Noura akan kebaikan Fahri. Rasa putus asa seseorang akan membuat dirinya terpeleset dalam ‘kealpaan’. Hanya orang-orang yang teguh imannya yang akan kokoh berdiri pada tiang beton kebenaran. Seperti saat Fahri meyakinkan Aisha untuk tidak menyuap keluarga Noura dan pihak hakim. Bagi yang sudah baca mungkin ingat bab ini pada halaman 357-360. Sepahit apapun..segetir apapun…junjunglah keyakinanmu, wahai orang-orang beriman!
Perkara kisah romansa Fahri dan Aisha kuanggap bumbu penyedap novel ini, begitu juga kisah cinta Maria…Nurul..bahkan Noura. Betapa cinta harusnya dimaknai dengan mendalam dan sakral. Biarkan ia menjadi halal bagimu dan kita akan mengerti bagaimana cinta yang tulus menggelayut manja dalam kekhusyukan syahdunya malam…
Duhai, amboi…Alangkah indahnya seseorang yang saling mencinta karena Allah azza wa jalla….!
Saya mungkin tak perlu mengucapkan kalimat penutup “Selamat membaca!” karena mungkin Anda-anda semua sudah membaca novel ini. Justru saya yang telat hampir empat tahun J.
Saya selalu berpendapat, apapun yang kita baca, kita lihat, kita dengar haruslah mendatangkan sesuatu buat kita. Menjadi penyemangat, penyejuk rukhiyah, penebal iman, memperluas wawasan dan banyak hal positif lainnya.
Maka untuk mengakhiri resensi yang belum pantas disebut resensi ini, perkenankanlah saya untuk menutupnya dengan sebuah kalimat yang justru menggelitik sisi romansa saya ….
“Biarkan cinta mengalir menemukan muaranya yang nyaman. Ia takkan pernah salah arah karena ia punya petunjuk yang takkan pernah salah memberikan arahan.” ….
{Maafkan, jika ternyata kalimat ini sama sekali jauh dari kesan romansa. Semoga saya tidak merobek-robek arti mendalam dari cinta itu sendiri}
Wallahualam..
28 Februari ‘08