Nama………..

“Namaku Nur…artinya cahaya…” kata salah seorang temanku memperkenalkan dirinya pada gank kecil kami. Ia memang murid baru di SD-ku. Oh, ternyata sebuah nama ada artinya, ya ? Aku baru ‘ngeh’. Sepulang sekolah kutanyakan pada ibuku tentang arti namaku yang jumlahnya tiga frasa itu *semua saudara-saudaraku pun jumlah frasa dalam nama mereka ada 3 :D* . Ia berpikir sejenak, lalu mengartikan namaku satu per satu. Aku tersenyum…argh..rasanya bangga mempunyai nama itu.

Pertama kali masuk SD, ibu guruku memanggil namaku dengan nama depanku. Menurutku kala itu, nama depanku agak aneh dibandingkan dengan nama teman-temanku yang lain. Bandingkan dengan nama Siska, Sri, Santi…*meski sama-sama berawalan huruf S * . Karena Bu Guru memanggilku dengan nama itu, maka teman-teman yang lain pun ikut memanggilku dengan nama yang sama. Padahal di rumah dan saat TK dulu aku dipanggil dengan nama ‘Putri’, nama yang sederhana dan tidak terlalu mencolok, nama khas Indonesia.

Bahkan sampai SMP, teman-temanku tetap memanggil dengan nama Syelvia. Sebenarnya, aku pribadi tidak ada masalah dengan nama itu. Toh, nama itu pun nama yang bagus dan unik..Bukan Sylvia ato Selvia seperti kebanyakan tapi “Syelvia”..he..he….Bedanya terkadang teman2 SMP ada juga yang usil dengan menyingkat namaku menjadi “sel” (yang berarti unit terkecil dari bagian makhluk hidup) atau ‘sel’ (hotel prodeo). Masa-masa itu memang masa penuh pergolakan he…he..*lebai banget, sih, daku 😀 *

Memasuki dunia SMA aku pun memperkenalkan diri dengan nama depanku yang keren itu *ckk…ckkk..lebainya bangkit lagi, neh* . Ketika teman-teman mulai memanggilku dengan nama itu salah seorang guru ku, Ibu Yul (guru bhs Indonesiaku) menanyakan nama panggilanku saat aku memperkenalkan diri di kelas *maklum kala itu masih baru masuk kelas 1, masa-masa perkenalan :D*

“Kalo di rumah biasanya dipanggil apa, Syelvia ?”
“Putri, bu…”
“Oh…sepertinya lebih enak dipanggil Putri, ya….” ujar beliau.

Aku hanya tersenyum saja, manggut-manggut pelan…Sejak itu jika memperkenalkan diri, aku mempersilahkan lawan bicaraku untuk memilih nama panggilan buatku…Bisa nama depan atau justru nama tengah.

Bagiku nama adalah sebuah doa, pengharapan…dan menjadi motivasi untuk menjadi lebih baik karena itu aku enggan memanggil seseorang dengan nama panggilan yang aneh. Misalnya: si Fulan ‘Ndut…si Fulanah Kete’…dan seabrek nama panggilan lainnya yang menggunakan istilah ‘pengidentifikasi-an’. Meski di satu sisi nama belakang dari panggilan mereka justru memudahkan orang lain dalam meng-identifikasi seseorang tetap saja kok, ya, rasanya tidak sopan. Terkadang, memang rasanya menjadi ‘kaku’ tatkala kita memanggil mereka dengan nama asli mereka *yang sebenarnya keren*. Tapi bagiku, itu adalah caraku menghargai mereka..sekaligus menghargai orang tua mereka yang telah bersusah payah memberi nama.

“Bukankah kata Rasulullah SAW, panggillah saudaramu dengan panggilan terbaik yang mereka sukai…..


Ia Yang Mencuri Hati

Ia berjalan dengan lenggokan tubuhnya, ke kiri ke kanan. Memamerkan senyumnya yang menawan. Ia merasa tampan..dan parahnya…ia memang tampan. Kami bahkan sibuk menyebut namanya, memanggilnya dengan panggilan sayang. Ia tahu betul bahwa ia sedang diperhatikan dan …tak sedetik pun ia menyia-nyiakannya.

Ia lahir dari rahim ibunya sebagai anak tunggal…setidaknya untuk saat ini. Sebelumnya, ibunya pernah melahirkan tiga orang anak. Sayang, ketiganya kemudian tewas dalam kejadian mengenaskan. Ibunya menjerit, memanggil ketiga anaknya. Kurasa, sang ibu masih belum menerima kematian ketiga anaknya yang tragis. Terkadang, ia memanggilnya dengan panggilan memilukan…sungguh menyedihkan kehilangan seorang anak…apalagi tiga orang anak sekaligus…Argh..menyedihkan

Setelah si tampan lahir, ia dijaga ketat oleh ibunya. Kami bahkan harus berhati-hati merawatnya, meski itu hanya dari jauh. Sempat beberapa hari si tampan menghilang, tak kami temukan dimanapun. Seminggu kemudian dia muncul dengan tampang acak-acakan. Pasti dia mengalami petualangan yang menyenangkan meski ia memang agak kurus dari sebelumnya.

Ketika ia mulai menginap di rumah, pamannya, yang dulu selalu menjadi idola kami seolah merasa tersisih. Si oom terkadang suka memarahinya, memukulnya…ergh..padahal si tampan khan masih kecil…Si oom seharusnya tak perlu marah, toh, dia tetap tampan meski ia sudah berumur…

Sekarang ia sudah bisa berlari, melompat bahkan memanjati kami….*memanjati ?..he..he…*Yupe, ia yang sejak lahir sudah diberi nama COMOT oleh ibuku adalah seekor anak kucing mungil yang *saat ini* lucu. Warna bulunya sama dengan warna bulu neneknua, ..belang tiga…Si induk diberi nama PUTIH sedang si paman diberi nama DEGIL. Merekalah bintang di rumah kami 😆

cat

Si Comot lagi rebahan bareng induknya

Sebuah Award….

Musim award ternyata masih belum berakhir. Terbukti, beberapa blog masih menerima dan meng-estafet-kan award tersebut ke blog lainnya. Dan salah satu blog yang menerima tongkat estafet itu adalah blog ini *erghh…uh..uh..berat juga euiiii*. Tongkat itu warnanya ungu dan ada gambar kupu-kupu pula :D. Sebelumnya terima kasih daku ucapkan kepada Auzi yang memasukan blog ku ini dalam deretan the Coolest Blog he ever Know *he…he.. yakin, nih, gak salah, zi 😀 *.

Nah berikut ini adalah penerima tongkat estafet (baca: award) berikutnya.

1. emfajar>>> Tampilan theme blognya yang menarik menurutku sangat keren, seperti buku diari yang bercerita. Serta berbagai gambar (batik?) yang menurutku meng-Indonesia sekali.Nah, fajar…akhirnya dapat award dari daku, nih…mohon diterima, ya… 🙂

2. enggink >>>> Meski daku jarang berkunjung ke blognya si mas enggink ini, tapi terus terang aku menyukai tampilan blognya dengan nuansa putihnya.

3. shavaat >>>> Anak muda yang baru saja diwisuda ini mempunya blog dengan nuansa gelap..*dulu daku sempat juga pake theme yang sama dengan dia 😀* Terus terang isi blognya pun mantap, kalo menurut saya ber”materi”

4. sawali >>> Tulisan yang digoreskan Pak Sawali ini selalu membuat saya berpikir tentang dunia “bahasa Indonesia” dan tulis menulis. Maka, layaklah rasanya saya berikan award ini kepada beliau..

5. Jingga >>>Mbak yang satu ini tulisannya menarik begitu juga dengan tampilan blognya…Ok, mbak..monggo, silahkan diterima awardnya, ya..

*Waduh…susahnya menuliskan kata penutup..ergh..*Demikianlah award ini daku estafetkan kembali kepada blog-blog *sungguh, menurutku blog anda sekalian emang keren* yang berhak…*Mohon maaf, zi..gak nyampe 7 blog seperti yang seharusnya 😀 *. Semoga dunia blogsphere ini semakin jaya….!!!


AKU DAN PAHLAWAN

Untung Suropati, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Sisingamaharaja adalah beberapa nama pahlawan yang masih melekat dibenakku. Mereka berjuang dengan gagah berani meski beberapa di antaranya justru gugur di daerah pengasingan. Aku ingat dulu ketika SD, pelajaran PSPB kelihatan seperti sebuah dongeng. Adegan perang itu justru melukiskan rasa ‘perjuangan’ yang berbeda dalam benakku kala itu *mungkin efek dari kebanyakan nonton film Rambo, ya ? he..he..*. Satu hal yang menarik buatku adalah semua para pejuang itu meneriakkan kata yang sama, “Merdeka”. Tak ada rasa yang paling membahagiakan saat pekik Merdeka itu dikumandangkan.

Mungkin hal itu pula yang membuat diri ini serasa ikut memanjati tiang bendera di hotel. Para pejuang kemerdekaan itu menyobek bagian biru bendera Belanda hingga bendera yang berkibar di puncak hotel itu adalah bendera kebangsaan Indonesia, Merah Putih…Argh…!

Apalagi saat kata-kata Bung Tomo bergelora, meneriakkan kata-kata penuh semangat diiring teriakan takbir…”Allahu Akbar !! Allahu Akbar !!”. Sangat magis sekali…. Barangkali jika aku hidup di zaman itu, aku pun turut mengangkat senjata. Sama seperti para Sahabat Rasulullah yang ketika diseru berjihad merekapun langsung bergerak.

Feel penuh perjuangan dan eksotisme persatuan serasa meluruh menjadi satu dalam reaktor bernama “INDONESIA MERDEKA”. Tak perduli apapun sukunya, apapun agamanya, apapun status sosialnya mereka bersama berjuang untuk kemerdekaan negeri tercinta.

Maka, tatkala film-film perjuangan diputar di tv, aku pun menempatkan mata ini sebagai penonton nomor wahid. Seolah ingin merefresh memori ini bahwa kemerdekaan bangsa ini didapat dengan perjuangan. Berpuluh-puluh juta jiwa gugur untuk kemerdekaan mulai dari zaman Fatahillah, Imam Bonjol, Pattimura sampai era Jenderal Sudirman atawa Soekarno.

Pahlawan tak pernah lekang dari kata gigih dan semangat. Seperti ketika Cut Nyak Dien yang tetap bertempur meski ia dalam keadaan berkabung karena baru saja ditinggal suaminya yang juga pahlawan nasional itu atawa Pak Sudirman yang justru memimpin peperangan dari atas kursi tandu. Konsep gigih yang mereka punyai justru menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk merebut kemerdekaan.

Lalu apakah kita telah gigih mengisi kemerdekaan ini ? Sudahkah kita menyumbangkan sesuatu buat bangsa tercinta ini ? Yuk, kita bersama-sama memantapkan diri untuk menjadikan bangsa tercinta ini kuat hingga kelak para pahlawan itu akan berkata,

“Tak sia-sia kuwariskan negeri ini kepadamu”

Gambar diambil dari sini

APOTEK HIDUP

d

Coba tebak dimana pohonnya ? :d

Dulu semasa SD, saya sering sekali mendengar istilah apotek hidup. Rumah kita menjadi bagian dari proses penyembuhan. Bukan hanya sebagai tempat istirahat tapi juga sebagai apotek, dimana kita juga menggunakan tanaman yang ada di sekitar rumah sebagai obat.

Entah karena terinspirasi hal itu atau tidak, ibu saya pun menanam tanaman-tanaman hijau di sekitar rumah. Meski sebelumnya rumah tinggal kami ini telah ditumbuhi pepohonan (yang alhamdulillah berbuah 🙂 ), kedua orang tua saya tetap menanam beberapa tanaman baru.

Di bagian depan rumah ada pohon mangga, pohon suji, pohon rambutan, pohon nangka, dahulunya malah ada pohon cerri. Pohon cerri itu (jangan bayangkan buah cherry yang sering dijadikan hiasan di kue, ya ..he..he…), buahnya kecil-kecil (seperti cherry tapi lebih kecil) dan rasanya manis. Semasa kecil, kami sering sekali memanjatinya dan mengambil buahnya. Bahkan teman sepermainan pun turut berpartisipasi he…he…Berhubung, pohon cerri itu sudah lumayan tua dan sering memakan ’korban’. Karena lapuk, banyak pemanjat yang jatuh bersamaan dengan rontoknya cabang pohon tersebut. Akhirnya pohon itu pun ditebang dan diganti dengan pohon nangka.

Pernah suatu ketika saat akan membuat kue, kami harus memetik daun suji yang tumbuh di depan rumah. Dari sanalah aku tahu bahwa daun suji ternyata bisa digunakan sebagai pewarna makanan. Padahal dulunya kami menggunakan daun suji untuk main ’masak-masakan’ :). Dua buah pohon rambutan yang tumbuh di daerah perbatasan rumah saya dan tetangga menghasilkan buah yang rasanya agak berbeda. Pohon rambutan yang berada di bagian depan, lebih dekat ke jalan, mempunyai rasa yang agak asam daripada rambutan yang berada di dekat rumah. Meski demikian, warna merah menyala yang dimiliki si pohon itu tetap saja menarik minat pejalan kaki, terutama anak-anak sekolah, yang melintas.

Di halaman belakang rumah, ditanami tumbuhan obat dan bumbu dapur. Ada tanaman samiloto yang bisa digunakan sebagai obat pusing dan penurun panas dan jambu biji yang daunnya bisa digunakan untuk obat mencret. Pohon daun salam,serai, lengkuas dan tanaman katu biasanya digunakan untuk memasak sedangkan pohon pisang dapat diambil buah dan daunnya(apalagi kalo mau lebaran…daun pisang bisa digunakan sebagai pembungkus lontong). Kesemuanya ditanam untuk mempermudah aktifitas rumah.

Tetanggaku (dulu) pernah meminta daun jambu biji. Aih…kenapa pula minta daun jambu biji ? Pikir saya waktu itu. Maklum…kala masih kanak-kanak terkadang kita tidak begitu tahu manfaat tanaman yang ada di sekitar kita kecuali hanya menggunakannya untuk bermain. Saat itulah saya baru tahu bahwa pucuk dan daun jambu biji bisa mengatasi mencret. Lain lagi jika pusing dan demam menyerang, cukup memetik 3 atau 5 helai daun samiloto kemudian merendamnya di dalam air panas. Insyaallah sembuh….meski harus bertahan dengan rasa pahit daun samiloto.

Rasa-rasanya memiliki apotek hidup di rumah adalah suatu keuntungan tersendiri apalagi kalau disertai ’pasar buah’ nya juga he…he…Penyakit bisa diobati secara tradisional dan alami sekaligus